21.44 | Posted in



Upaya transformasi besar-besaran untuk mengubah pesantren menjadi pendidikan modern yang terlepas dari akar tradisinya telah dilakukan sejak tahun 1970-an, tetapi beberapa di antaranya tetap bertahan dan ada yang menyiasati sehingga tetap maju, berkembangan tetapi tetap memepertahankan nilai-nilai aslinya. Bersamaan dengan masa reformasi politik nasional, reformasi pendidikan juga dilaksanakan lebih gencar. Bahkan dana dari berbagai funding asing digerojok besar-besaran ke lembaga tradisional ini dengan harapan mereka menjadi Islam yang moderat dan tidak menjadi sarang teroris. Tetapi apa yang disebut dengan Islam moderat itu sangat berbeda dengan yang diamalkan pesantren, sehingga tidak sedikit pesantren yang menolak reformasi pendidikan seperti itu dan tetap mempertahankan tradisi Islam dalam pengajarannya.

Tidak hanya di tanah Jawa, di titik episentrum gerakan modernisme Islam yang digerakakan sejak abad ke-17 oleh kelompok Wahabi, di Sumatera Barat, ternyata tidak mampu meruntuhkan sendi-sendi Mazhab Syafii yang telah berabad berkembang di kawasan itu. Terbukti hingga saat ini ribuan pesantren salaf masih berkembang di sana dan berbagai aliran tarekat terus berkembang. Tradisi yang paling khas dari pesantren di Tanah Minang itu adalah pengukuhan santri yang telah menamatkan pelajarannya menjadi tuanku. Sebagaimana yang baru saja dilakukan oleh Pesantren Nurul Yakin. Peasantren berbasis NU ini setiap tahun mengukuhkan antara 30 hingga lima puluh orang tuanku.

Tidak setiap santri yang telah menguasai semua khazanah kitab kuning bisa dikukuhkan sebagai tuanku kalau secara moral dan secara mental belum siap. Proses pengukuhan itu juga membutuhkan kesiapan keluarganya. Karena seorang tuanku di samping harus bisa menjaga diri perilaku sebagai seorang calon ulama, perilaku keluarga juga harus sama, agar mereka menjadi teladan bagi perilaku sosial. Bagi sorang yang bergelar tuanku tidak lagi bisa berpakaian sembarangan, atau berperilaku sembarangan yang melanggar muru’ah (kepantasan).

Bagi para calon ulama ini, ilmu harus diwujudkan dalam amalan atau perilaku, karena itu bagi mereka yang telah siap berperilaku seperti seorang calon ulama, barulah mereka siap diwisuda atau dikukuhkan sebagai santri yang bmemeiliki gelar tuanku, yang memiliki kempuan intelektual dan integritas moralnya. Walaupun di pesantren lain di NUsantara tidak seformal dan seketat yang diberlakuakn pesantren NU di Minangkabau, tetapi semuanya memiliki prinsip yang sama.

Bagi mereka yang sejak awal belajar dengan niat hendak mengabdikan diri kepada Allah dan kepada masyarakat, mereka tidak peduli dengan sertifikasi dan berbagai ketentuan formal birokratis, termasuk tidak mempertimbangkan kepentingan ilmunya dengan pasar kerja. Dengan demikian mereka mampu nmepelajari berbagai kitab kuning dengan penuh keyakinan dan ketekunan. Dan setelah itu tinggal bagaimana diamalkan sendiri dan diajarkan kepada masyarakat sekitar.

Di tengah eksodus warga desa ke berbagai kota, mereka relatif mampu membina dan mendampingi masyarakat desa, karena telah memiliki perangkatnya. Apalagi mereka sebagai penduduk setempat dengan kemampuan bekerja sebagai petani atau usaha lainnya yang diizinkan dalam etika seorang ulama atau tuanku, meraka bisa bekerja dengan baik sambil mendampingi masyarakat baik secara sosial maupun secara spiritual. Peran mereka hingga saat ini tidak pernah dihargai, bahkan dianggap penghambat kemajuan.

Padahal mereka itu telah melakukan berbagai aktivitas besar dalam menyelamatkan dan membangun sebuah peradaban yang akan mampu sebagai penyangga keilmuan di masa depan. Ketika dunia pendidikan modern telah mengalami kejenuhan dan jalan buntu, maka mereka tidak bisa tidak akan menengok dan belajar pada keaslian dan keunggulan sistem pendidikan ini. Tidak hanya mampu mengembangkan ilmu pengetahuan yang sudah dianggap langka, tetapi juga mampu melahirkan manusaia dengan watak yang terpuji, karena sejak awal mereka dididik mengamalkan akhlak yang tinggi. Kalau mau melihat seperti apa pendidikan Islam yang sebenarnya, di pesantren salaf itulah contohnya. Kalau hendak melihat pendidikan yang khas Nusantara, pesantren salaf seperti itulah bentuknya. N U online

Category:
��

Comments

0 responses to "Mengukuhkan Kembali Tradisi Pesantren (Abdul Mun’im DZ)"