Sejarah Pergerakan Umat Islam

Sejarah Pergerakan Umat Islam
Dalam pergerakan Nasional indonesia (3)
Timeline : 1930 s/d 1940 PSII : Partai Sarikat Islam Indonesia 24-27 Januari 1930
Kongres PSII diadakan di Yogyakarta. Dibicarakan nasib PNI, H. Agus Salim menerangkan hasil kepergiannya ke Geneve. Sesudah dibicarakan hal-hal yang biasa (tanah partikulir, tanah erfpah, aksi-tandhim dan sebagainya), diusulkan suatu pembagian baru dalam organisasi, bermaksud akan memperbaiki keadaan serikat itu, usul itu di terima oleh kongres.

PSII jadi terpimpin oleh : Dewan Partai, atau Majelis Tahkim sebagai suatu badan pembuat aturan partai. Ketua Cokroaminoto, dan anggota (Agus Salim, Suryopranoto dan 4 orang lain). Lajnah Tanfidhyah, sebagai suatu badan menjalankan penetapan-penetapan partai itu, terdiri dari semua direktur departemen (urusan umum, keuangan, ibadat, pengajaran, perburuhan dan pertanian, pergerakan wanita, pergerakan pemuda). Ketua Sangaji dan ketua muda Dr. Sukiman. Cabang-cabang partai adalah bagian-bagian yang biasa, tidak mempunyai kedudukan istimewa, cabang-cabang itu di pimpin oleh pengurus-pengurus cabang yang diawasi oleh suatu badan (majelis) yang terdiri dari anggota-anggota yang boleh dipercayai, majelis ini berhubung dengan Dewan Partai. Anggaran dasar yang baru, menyebutkan antara lainnya, bahwa tujuan PSII ialah : Membangunkan suatu persatuan yang kokoh antara semua Muslim menurut peraturan-peraturan agama Islam untuk memajukan kesentausaan negeri dan rakyat. Bekerja bersama-sama dengan perkumpulan yang lain-lain, untuk kepentingan umum. [Photo] [Photo] [Photo]
22 Maret 1930

Istri Sedar berdiri. Pemimpinnya nona Suwarni, ia tidak masuk ke dalam PPII karena dipandangnya kurang demokratis dan terlalu mementingkan urusan rumah tangga.

Maret 1930
Berhubung dengan tiadanya aksi PNI (aksi ini sangat berbahaya bagi SI untuk mendapat banyak anggota) dan dengan adanya harapan baik untuk mendapat kembali lapangannya, sebagai pada waktu kaum Komunis ditangkapi dahulu, berangkatlah Cokroaminoto dan Salim ke seluruh Jawa untuk mengadakan propaganda di 8 tempat.

6-8 April 1930
Kongres PSII di Pare-Pare; diperbincangkan oleh H. Agus Salim hasil bepergiannya ke Geneve; dibicarakan pula hukum adat dan hukum Islam dan hukum perkawinan dalam Islam; soal ekonomi.

20 April 1930
Perserikatan Celebes didirikan di Jakarta oleh Lengkong.

5 Mei 1930
Diadakan rapat SI yang bersamaan di 23 tempat di Jawa. Sekali ini bermaksud terdapatnya penghapusan segala jenis kerja paksaan (heerendienst).

15 Juli 1930
Kaum Ambon di Jakarta yang mengasingkan dirinya dari Sarekat Ambon mendirikan Moluksch Politik Verbond (MPV) di bawah pimpinan Dr. Apituley dan Dr. Tehupeory.

14 September 1930
Berdirilah Partai Rakyat Indonesia (PRI) di Jakarta oleh M. Tabrani. PRI berusaha menuju kemerdekaan Indonesia, yang akan dicapainya dengan jalan parlementer (cooperatie). PRI bertujuan mencapai pemerintahan sendiri (dominion status) melalui cara-cara parlemen dan kerjasama dengan Belanda.

Nopember 1930
Kelompok Studi Indonesia di Surabaya, mengubah namanya menjadi PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), dimana Sutomo dan elit baru lainnya berkewajiban memperbaiki kesejahteraan rakyat.

28 Desember 1930
PSII mengadakan persidangan di beberapa tempat untuk menyatakan tidak-setujunya dengan sikap pemerintah dalam waktu penghematan yang menambah beban-beban rakyat. Rapat yang diadakan oleh 22 cabang SI di Jawa, untuk mendapatkan keringanan beban pajak, penghapusan kerja paksa, penghapusan potongan upah dan gaji, tidak memperpanjang lamanya erfpah. Juga diumumkan tentang keluarnya PSII dari gabungan PPPKI.

28 Desember 1930 - 2 Januari 1931
Kongres Indonesia Muda di Solo. Disahkan berdirinya Indonesia Muda (fusie dari Jong Java, Pemuda Indonesia, Jong Celebes dan Pemuda Sumatra yang telah membubarkan diri).

Tahun 1930
Organisasi Persatuan Muslimin Tapanuli (PMT) didirikan dengan alasan yang sama dengan PERTI, berupa penolakan terhadap pemakaian madzab dalam Thawalib. Syekh Musthafa Purbabaru sebagai pendirinya, dan setelah kemerdekaan organisasi ini bergabung dengan Nahdlatul Ulama yang menebar di Sumatra Utara.

Persoalan madzab tidak pernah terselesaikan di dalam Thawalib, PERTI dan PMT, mendorong timbulnya al-Jam’iyatul Wasliyah, yang berusaha mempertemukan pendapat yang berbeda-beda dari berbagai macam aliran yang timbul di Sumatra Utara. Organisasi ini menekankan pada madzab Syafi’i, tetapi bagi anggotanya bebas mengamalkan dan mengembangkan ilmunya masing-masing.

Pada tahun yang sama, berdiri Musyawaratut Thalibin di Kalimantan Selatan. Organisasi ini dimajukan oleh Syekh Abdurrasyid Amuntai, dengan mengadakan modernisasi di bidang pendidikan.

Sementara itu di Nusa Tenggara Barat, berdiri pula Nahdlatul Wathan. Organisasi ini bergerak dalam bidang pendidikan, dengan membuka sekolah-sekolah. Dalam perjuangannya, ia menggabungkan diri dalam MIAI.

4 Januari 1931
Indonesische Studie Club berubah nama menjadi Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) dengan anggaran dasar yang baru pula. PBI di bawah pimpinan Dr. Sutomo, berusaha “menyempurnakan derajatbangsa dan tanah air, berdasarkan kebangsaan Indonesia.

Maklumat dari Perhimpunan Indonesia dan Perserikatan Pembela Bangsa di Kairo untuk memerangi percekcokan Islamieten kontra Nasionalisten.

Januari 1931
Didirikan “Persatuan Rakyat Madura” (non-cooperatie) yang bertentangan dengan sikap Sarekat Madura.

30 April 1931
Mr. Sartono mendirikan partai sekuler dan non-koperasi, yang bernama Partindo (Partai Indonesia). Pada hakikatnya Partindo adalah PNI dengan nama lain. Partindo tidak seperti masa kejayaan PNI, ia lebih menekankan swadaya, koperasi dan swadesi. Sasarannya (35, Hal. 40) adalah kemerdekaan menyeluruh melalui cara non-koperasi, namun dengan pendekatan yang lebih moderat daripada PNI. Partindo didirikan dengan bertujuan Indonesia merdeka. Tujuan ini akan di capai dengan jalan :

a. Perluasan hak-hak politik dan penteguhan keinginan menuju suatu pemerintah rakyat berdasarkan demokrasi.
b. Perbaikan perhubungan-perhubungan dalam masyarakat.
c. Perbaikan keadaan ekonomi rakyat Indonesia.

Sekelompok minoritas PNI yang penting mendirikan Golongan Merdeka, yang programnya hampir sama dengan induknya (PNI). Sutan Syahrir dan Dr. Mohammad Hatta, yang telah bekerjasama dalam Himpunan Pelajar Indonesia di Negeri Belanda bergabung dengan Golongan Merdeka yang tak lama kemudian karena adanya pengaruh Syahrir, menamakan dirinya Club Pendidikan Nasional Indonesia.

27 Juni 1931
Pada “Congres al-Islam Indonesia” didirikan “Pergerakan al-Islam Indonesia” di bawah pimpinan Sangaji; bermaksud akan mempertahankan Islam atas serangan-serangan dan mempersatukan Islam.

1 Nopember 1931
Golongan Merdeka, yaitu anggota-anggota dari PNI yang tidak setuju dengan pembubaran PNI dan berdirinya Partai Indonesia, mengadakan rapat umum di Jakarta, yang dapat banyak perhatian.

Desember 1931
Partai Daulat Rakyat Indonesia (Padri) yang tadinya menamakan dirinya Golongan Merdeka mengganti namanya menjadi Pendidikan Nasional Indonesia (di kenal dengan PNI-Pendidikan).

Tahun 1931
S.M. Kartosuwiryo terpilih menjadi Sekretaris Umum PSII.

Central Comite al-Islam (di bawah pengaruh PSII) mengadakan Kongres al-Islam ke-9 untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan Islam di Tripolis. Dalam kongres, dibicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan timbulnya krisis ekonomi semenjak penghabisan tahun 1929, yaitu antara lain rancangan-rancangan pemerintah tentang perhentian belanja negeri dan maksud pemerintah hendak memperhentikan banyak pegawai sekaligus berhubung dengan penghematan itu, misalnya pegawai pegadaian. Juga di ambil keputusan, supaya anggota-anggota yang mempunyai tanah menanami 1/3 dari tanahnya itu dengan kapas untuk keperluan tenun dalam negeri.

3 April 1932
Perserikatan Kaum Buruh Indonesia berdiri di Jakarta atas anjuran S.O. Yusuf.

14-18 April 1932
Kongres propinsi dari PSII di Padang Panjang. Dibicarakan pemberian hak tanah kepada bangsa Indo; rodi dan rintangan-rintangan pergerakan.

15-19 April 1932
“Pergerakan al-Islam Indonesia” yang berdiri di bawah pengaruh PSII mengadakan kongres di Malang.

1-6 Juli 1932
Himpunan Pemuda Islam Indonesia mengadakan konferensi di Padang Panjang (Sumatra).

17 Juli 1932
Segenap cabang PSII mengadakan rapat umum. Dibicarakan tersiarnya agama Islam di Jawa dan jatuhnya Majapahit.

Agustus 1932
Beberapa perkumpulan kaum ibu menyatukan diri dalam satu fusi dengan nama --Istri Indonesia--. Pengurus Besarnya berkedudukan di Jakarta.

September 1932
[Photo]Di Surabaya didirikan PTI (Partai Tionghwa Indonesia) di bawah pimpinan Liem Kun Hian, Tjoa Sik Ien dan kawan-kawannya; suatu partai peranakan Cina yang berpaling ke Indonesia dan bukan ke Cina, bertujuan ikut menegakkan Indonesia merdeka dengan hak-hak yang sama untuk semua golongan penduduk. Lawannya di lapangan politik adalah Tinghwa Hwee dan golongan Siu Po (condong Belanda).

11 Desember 1932
PSII dan PPPKI mengadakan aksi umum di seluruh pulau Jawa menentang Ordonansi Sekolah Liar (yaitu sekolah partikulir yang tak mendapat sokongan dari pemerintah), aturan tentang “sekolah liar” itu pun juga jadi soal hangat yang diperhatikan segenap lapisan pergerakan.

16 Desember 1932
H. Agus Salim berangkat ke Lampung untuk memimpin PSII disana, berhubung partai ini mendapat beberapa kesukaran.

18 Desember 1932
Aksi umum PSII di luar Jawa menentang Ordonansi Sekolah Liar dan keberatan-keberatan pajak. Di Tanette rapat dilangsungkan dengan penjagaan militer. Di Mendayun rapat tak dapat diteruskan karena larangan, demikian pula di Payakumbuh rapat umum tak dapat berlangsung karena larangan. Di Padang Panjang rapat umum dilangsungkan tetapi dapat banyak teguran.

Akhir 1932
Dr. Sukiman di pecat dari PSII dan mendirikan Partai Islam Indonesia (Parii) di Yogyakarta.

Maret 1933
PSII mengadakan kongres, antara lainnya dibicarakan tentang perlunya penghapusan Undang-undang tentang perkawinan antara orang Islam dan daya-upaya yang perlu untuk memajukan kesentausaan kaum tani (menyerahkan kepada penduduk tanah-tanah hutan yang bukan persediaan kehutanan, menghentikan pemberian tanah erfpah, tidak memperpanjang hak atas tanah erfpah yang belum diusahakan, mendirikan perkumpulan-perkumpulan kaum tani supaya dapat mengadakan perusahaan-perusahaan bersama).

Ketika kongres SI diadakan di Jakarta, masalah Persatuan Pegawai Pegadaian Hindia (PPPH) ini menjadi salah satu pokok bahasan. Cokroaminoto dan Agus Salim menekankan kepada kongres untuk mengeluarkan Sukiman dan Suryopranoto, karena mereka telah menyalahi adat dalam PSII. Sebab masalah seperti yang terdapat di dalam PPPH itu haruslah lebih dahulu di bawa ke dan diselesaikan di dalam Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyah dan bila perlu, Majlis Tahkim.

Akhir Desember 1933
Mohammad Hatta mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia di Yogyakarta, yang berdasarkan Nasionalisme dan demokrasi.

Tahun 1933
Pemerintah menyatakan bahwa PSII (seperti juga PNI dan Partindo) suatu organisasi yang terlarang dimasuki oleh pegawai negeri dan dikenai pula aturan pembatasan berapat untuk sebagian dari Sumatra (jadi bukan untuk Jawa).

20-26 Mei 1934
PSII mengadakan kongres tahunan di Banjarnegara. Di kongres ini dibicarakan antara lainnya segala adat yang di rasa bertentangan dengan agama Islam. Lagi pula di ambil keputusan jika menilik keadaan setempat-setempat di anggap perlu akan mengadakan cabang-cabang istimewa untuk kaum wanita, yang berdiri di bawah Komite Eksekutif dari Pengurus Sentral.

Tahun 1934
H. Umar Sa’id Cokroaminoto meninggal.

Tahun 1934
Di Semarang AR Baswedan mendirikan Partai Arab Indonesia, dimana partai ini menekankan Indonesia sebagai tanah airnya. Organisasi ini mempunyai cabang di daerah-daerah dan juga mempunyai organisasi pemuda dengan nama “Lasykar PAI”.

Maret 1935
H. Agus Salim sebagai ketua Dewan Partai SI melihat bahwa sikap pemerintah cenderung tidak menguntungkan partainya. Maka ia kemudian mengeluarkan pernyataan politik, yang di kenal sebagai “Pedoman Politik” atau istilah lain “Memori Salim”, untuk menyelamatkan partai SI.

9-11 Mei 1935
[Photo]Perpecahan di kalangan pimpinan PSII terus berlanjut, yang tercermin dalam dua kelompok yang masing-masing mempertahankan sikapnya. Pertama adalah kelompok pimpinan dalan Dewan Partai di bawah pengaruh Agus Salim, A.M. Sangaji, Moh. Rum dan Sabirin. Kedua kelompok pimpinan dalam Lajnah Tanfidziyah (LT) di bawah pengaruh Abikusno, Wondoamiseno dan S.M. Kartosuwiryo. Abikusno memperjuangkan politik non-koperasi (tidak mau bekerjasama) dengan pihak kolonial, sedangkan H. Agus Salim cenderung pada sikap untuk bekerjasama dengan kekuasaan kolonial

Kedua kelompok yang saling bersengketa itu mengadakan suatu pertemuan bersama antara Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyah di Jakarta, yang memutuskan untuk menangguhkan pembahasan masalah Pedoman Politik pada kongres yang akan datang.

Sebelum kongres diselenggarakan, Abikusno dan sekretarisnya S.M. Kartosuwiryo mengundurkan diri dari Lajnah Tanfidziyah dan kemudian memimpin PSII cabang Jakarta. Kedudukannya kemudian digantikan oleh A.M. Sangaji dan Sabirin.

April-Juli 1935
PSII melakukan penyelidikan tentang keadaan perekonomian rakyat, penyelidikan itu dijalankan dengan memakai daftar-daftar pertanyaan tentang pengangguran, penghidupan, beban rakyat, kekurangan uang yang tersebar, kemiskinan, akibat kemiskinan itu bersangkut dengan keamanan umum dan kesehatan dan tentang daya-upaya untuk meringankan kesusahan.

30 Juli - 4 Agustus 1935
Segala hasil penyelidikan yang dilakukan dengan tidak keahlian ini, dibicarakan di kongres kilat PSII (Kongres al-Islam ke-10) yang diadakan di Malang. Oleh karena ternyata, bahwa keterangan-keterangan itu kebanyakan amat kurang tepat dan kurang jelas sekali, dan hanya mengenai keadaan yang umum saja, jadi sebagai penyelidikan sedikit sekali harganya, maka diambillah keputusan akan mengulangi penyelidikan itu, untuk didirikan suatu bagian baru dari partai itu.

Di kongres ini diberikan juga keterangan tentang sikap partai bersangkutan dengan soal non-koperasi, mungkin sekali sebagai reaksi terhadap aliran dalam kalangan PSII yang hendak melepaskan sikap non-koperasi.

24-26 Desember 1935
Terjadilah kongres fusi di Solo antara Budi Utomo, PBI, Partai Sarekat Selebes, Sarekat Sumatra, Tirtayasa dan lain sebagainya, dan kemudian membentuk partai yang bersikap moderat, yaitu Parindra (Partai Indonesia Raya) dan berkedudukan di Surabaya. Sebagai ketua pengurus besar terpilih dr. Sutomo. Dasarnya Nasionalisme Indonesia raya dan bertujuan Indonesia mulia dan sempurna; berhaluan koperator, tapi bercorak pula Opportunisme; usahanya antara lain membentuk gerakan pemuda Surya Wirawan, Rukun Tani. Adanya fusi itu Parindra mudah mendirikan cabang-cabang di seluruh Indonesia. Banyak di antara tokoh PNI kemudian ikut memperkuat Parindra, antara lain Mr. Iskaq Cokroadisuryo dan Mr. Sunaryo.

8-12 Juli 1936
[Photo]Abikusno terpilih menjadi ketua partai PSII pada kongres partai ke-22 di Batavia. Ia kemudian mengangkat S.M. Kartosuwiryo sebagai Wakil Ketua (Ketua Muda) PSII.Kartosuwiryo ditugaskan oleh kongres untuk menyusun suatu brosur tentang sikap hijrah partai PSII.

Pedoman Politik Salim tidak dimasukkan dalam agenda pembicaraan kongres. Wondoamiseno sebagai pimpinan kongres memberikan alasannya, bahwa tidak dibahasnya Pedoman Politik itu karena sempitnya waktu untuk mempelajari secara matang.

15 Juli 1936
Salah satu usaha yang berhasil memanfaatkan modernisasi kehidupan politik lewat parlemen adalah munculnya Petisi Sutarjo. Ia mengajukan petisi kepada Dewan Rakyat yang minta kepada Parlemen Belanda agar di beri otonomi politik. Petisi yang ditanda-tangani I.J. Kasimo, Ratulangi, Datuk Tumenggung dan Kwo Kwat Tiong, dapat di pandang sebagai upaya untuk keluar dari jalan sempit yang dilalui para Nasionalis. Tuntutan “Indonesia Berparlemen” memang tuntutan yang baik sekali dan di dukung oleh anggota Indonesia dan Belanda, dan akhirnya petisi itu di tolak oleh pemerintah tanpa menimbulkan protes.

30 Nopember 1936
Sebagai akibat ketidak-setujuannya terhadap politik non-koperasi PSII dan politik “hijrah” S.M. Kartosuwiryo, H. Agus Salim membentuk fraksi tersendiri di dalam tubuh partai PSII di bawah pimpinan Mohammad Rum, yang bernama “Barisan Penyadar PSII” (BP-PSII. Maksud barisan ini ialah hendak “menyadarkan” PSII itu atas “kehendak-kehendak zaman” yang sudah berubah itu.

Barisan Penyadar PSII ini dimaksudkan hanya bergerak dalam lingkungan PSII, yaitu mengajak supaya setiap anggota partai sadar akan hak-haknya dalam organisasi, yang selama dan sesudah kongres PSII ke-22 di langgar oleh Lajnah Tanfidziyah dan Dewan Partai. Dengan cepat aksi Barisan Penyadar ini menyebar ke cabang-cabang PSII di seluruh Indonesia. Dukungan yang sangat besar diberikan oleh cabang PSII Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra Selatan dan Sumatra Barat.

19 Desember 1936
Aksi oposisi dari Salim melalui Barisan Penyadar ini menggoyahkan kedudukan Abikusno. Oleh karena itu pimpinan PSII mengadakan rapat bersama antara Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyah. Rapat menegaskan kembali bahwa “hijrah” adalah politik resmi partai dan memerintahkan kepada semua pimpinan partai untuk menyebar-luaskan politik ini. Rapat itu juga melarang cabang-cabang untuk memberi bantuan kepada Barisan Penyadar dalam mengadakan pertemuan-pertemuannya serta membahas pula kemungkinan-kemungkinan pemecatan terhadap tokoh-tokoh Pergerakan Penyadar.

Akhir Januari 1937
Partai SI memberlakukan skorsing kepada pemimpin pusat dan daerah Barisan Penyadar.

13 Pebruari 1937
H. Agus Salim, Mohammad Rum, Sabirin, Sangaji, Muslikh dan 23 anggota fraksi Salim yang lainnya dikeluarkan dari keanggotaan PSII.

23-26 Pebruari 1937
Pemecatan-pemecatan terhadap tokoh-tokoh Barisan Penyadar, membulatkan tekad mereka untuk membentuk partai sendiri, lepas dari PSII. Oleh karena itu suatu konferensi dengan maksud ini kemudian diselenggarakan di Jakarta. Konferensi ini mengambil satu keputusan penting, yaitu membentuk partai sendiri dengan nama “Pergerakan Penyadar”.

Pertengahan April dan Mei 1937
PSII menjalankan aksi umum, bentuknya ialah cabang-cabang mengadakan rapat-rapat umum yang di pimpin oleh wakil-wakil pengurus besar. Di rapat-rapat ini dijelaskan antara lainnya, sikap partai berupa non-koperasi, dikemukakan pula keberatan tentang pajak-pajak, rodi, beban desa, sedang segala yang harus dikerjakan pada waktu melakukan nikah menurut aturan agama Islam, dibicarakan juga.

24 Mei 1937
Partai kiri yang mau bekerjasama dengan pemerintah, ialah Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Gerindo menjunjung azas koperasi, jadi mau bekerja bersama-sama dengan pemerintah jajahan. Ia tinggal tetap perkumpulan untuk rakyat umum, yang berusaha mencapai bentuk pemerintahan negara berdasarkan kemerdekaan di lapangan politik, ekonomi dan sosial. Para pemimpin Gerindo terdiri dari orang-orang Sosialis Internasional dan perjuangannya secara Internasional menentang perluasan Fasisme. Di antara pemimpinnya adalah Drs. A.K. Gani, Mr. Mohammad Yamin, Mr. Amir Syarifudin dan Mr. Sartono.

Mr. Mohammad Yamin akhirnya di pecat dari Gerindo dan kemudian mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Parpindo). Parpindo berusaha bekerja bersama-sama pemerintah dan berusaha mencapai kemajuan ke arah suatu masyarakat dan bentuk negara, yang tersusun menurut keinginan rakyat. Partai itu mempergunakan sebagai dasarnya : “Sosial-Nasionalisme” (Nasionalisme bersendi atas persatuan Indonesia yang sempurna dan atas kedaulatan rakyat), dan “Sosial-demokrasi” (demokrasi rakyat umum) 19-23 Juli 1937
Kongres PSII ke-23 di Bandung di bawah pimpinan Kartosuwiryo, di bentuk suatu komisi yang harus menyusun suatu “program aksi hijrah” (Daftar Usaha Hijrah PSII). Kongres ini mengambil beberapa mosi dan keputusan.

Mosi pertama mencela penyerahan kekuasaan majelis-majelis agama (priesterraden) tentang hukum warisan kepada Landraad (Staatsblad 1937 No. 116), sedang di samping itu dinyatakan pula, bahwa Ummat Islam mempunyai hak yang penuh untuk menyelesaikan, mengambil keputusan dan mengatur segala hal yang semata-mata hanya mengenai pendirian-pendirian Islam. Selanjutnya diharapkan, supaya pemerintah akan mengangkat ketua dan anggota-anggota majelis priesterraad daripada orang-orang Islam yang ahli dalam agama Islam, dan juga supaya pemerintah akan mengembalikan hak mengadili hal warisan kepada majelis agama itu.

Mosi yang kedua mengenai adanya Mahkamah Islam Tinggi, PSII mencela adanya badan itu. Juga dinyatakan dalam mosi itu maksud supaya oleh tiap-tiap cabang partai didirikan sebuah Majelis Ulama yang terdiri atas wakil-wakil segala organisasi Islam, untuk memusyawarahkan, mengatur dan mengambil keputusan tentang segala sesuatu soal yang terdapat dalam hal warisan atau harta-benda keluarga. Juga dinyatakan dalamnya, bahwa PSII bersedia akan bekerja bersama-sama dengan organisasi Islam lain-lain untuk mengadakan sebuah Kongres Islam Umum, yang berusaha mendirikan sebuah pengadilan Islam.

Mosi yang ketiga menentang rancangan yang di buat oleh pemerintah tentang aturan bagi pencatatan dengan sukarela daripada perkawinan untuk mereka yang hukum perkawinannya belum ditetapkan dengan peraturan umum negeri, penentangan itu disebabkan, karena hal yang demikian itu di anggap berlawanan dengan hukum-hukum Islam. Dalam mosi itu disebutkan juga, bahwa rancangan itu mengandung arti pemerintah lebih banyak campur-tangan dalam hal siaran-siaran agama Islam (suatu hal yang di anggap tidak baik), sehingga diharapkan pemerintah tidak menetapkan rancangan itu menjadi Undang-undang. Jika hal itu terjadi juga, maka PSII mengancam akan melarang anggota melakukan pernikahan menurut Undang-undang itu.

Dengan mosi yang ke-empat, kongres itu menyatakan kekecewaannya tentang maksud akan membagi-bagi Palestina.

Diambillah pula keputusan akan mengadakan panitia, yang akan bekerja bersama-sama dengan pengurus besar Parindra, untuk mengadakan suatu kongres umum yang akan membicarakan soal majelis agama, Mahkamah Islam Tinggi dan segala peraturan yang merintangi kemajuan pergerakan rakyat dan perekonomian rakyat.

Kongres itu mengambil juga keputusan akan mencabut pemecatan atas diri anggota-anggota yang dalam tahun 1933 sudah dikeluarkan oleh PSII (dan yang sudah mendirikan Parii) dan akan memberi kesempatan kepada mereka itu masuk PSII kembali.

Agustus 1937
Di Jakarta berdiri “Persatuan Guru-guru dan Muballigh Islam”, pendiri dan pengurusnya Moh. Lawit, Amir Hamzah, Hayat Sudirjo, Kartosudarmo dan lain-lainnya. Tujuan pokok ialah pengembangan Islam secara modern dalam arti luas. Di antara pemudanya memasuki partai politik.

September 1937
Atas anjuran pemimpin-pemimpin Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, berdirilah Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI), di sebut orang Majelis Islam Luhur.

17 September 1937
Dr. Sukiman, Wali al-Fatah dan lain-lain yang tergabung dalam Parii, menggabungkan diri kembali dalam PSII.

30 Juli - 7 Agustus 1938
Kongres PSII ke-24 di Surabaya oleh S.M. Kartosuwiryo dijelaskan, bahwa “hijrah” yang jadi sikap partai itu haruslah jangan diartikan sama dengan non-koperasi yang diadakan oleh partai-partai lain terhadap pemerintah. Kongres itu menyerahkan jabatan ketua dari Dewan Partai kepada W. Wondoamiseno dan jabatan ketua dari Lajnah Tanfidhyah kepada Abikusno. Kartosuwiryo diserahi pekerjaan penyelenggaraan azas hijrah itu dalam lapangan politik, ekonomi dan sebagainya.

Kongres PSII di Surabaya merencanakan untuk menindak-lanjuti “program aksi hijrah”. Dalam kongres ini juga diputuskan, supaya di bawah pimpinan Kartosuwiryo didirikan suatu lembaga pendidikan kader di Malangbong dengan nama “Suffah PSII”, yang sudah akan di buka pada tanggal 20 Pebruari 1939 khususnya bagi anggota PSII yang laki-laki.

6 Desember 1938
Perdamaian yang sudah di buat dengan golongan Yogya (Dr. Sukiman), tidak lama umurnya. Sehingga akhirnya mereka mendirikan PII (Partai Islam Indonesia) di Solo dan diketuai oleh R.M. Wiwoho Purbohadijoyo (anggota Dewan Rakyat, pemimpin Jong Islamieten Bond). PII berkembang cepat di daerah karena mendapat bantuan sesama anggota GAPI, terutama dari Partai Arab Indonesia (PAI) pimpinan AR. Baswedan.

Sebelum PII itu didirikan, pengurus PSII sudah menerima surat dari Dr. Sukiman, Wali al-Fatah, K.H.M. Mansur dan lain-lain yang menerangkan, bahwa mereka itu akan masuk PSII, kalau partai ini : Mau melepaskan azas “hijrah” (pengirim-pengirim surat itu berpendapat, bahwa “hijrah” tidak boleh dijadikan azas perjuangan, tetapi hanyalah taktik perjuangan). Semata-mata hanya mengerjakan aksi politik (pekerjaan sosial dan ekonomi haruslah diserahkan kepada perkumpulan yang lain-lain). Mau selekas-lekasnya mencabut disiplin partai yang sudah dilakukan terhadap Muhammadiyah. PSII membalas surat ini dengan menolak permintaan itu, hanya disiplin partai terhadap Muhammadiyah itu mungkin akan dibicarakan lagi.

Tahun 1938
Di kalangan Islam ada tendensi untuk bersatu tanpa melihat perbedaan, yang kadang-kadang mengganggu, yaitu dengan mendirikan MIAI (Majlisul Islami A’la Indonesia), meskipun antara PSII Abikusno dan PII Wiwoho saling berebut pengaruh dalam MIAI. Berkat diplomasi Wondoamiseno, konflik intern itu dapat diselesaikan.

MIAI mengadakan Kongres al-Islam ke-11, adapun yang menjadi sebab ialah tulisan Nona Siti Sumandari tentang Islam yang dianggapnya sangat menghina agama Islam dan minta kepada pemerintah agar lekas menetapkan sikap tentang hal ini. Juga diputuskan meminta kepada pemerintah agar penyelesaian urusan waris diserahkan kembali kepada raad agama (jadi di ambil lagi dari landraad).

Mei 1939
Kongres al-Islam ke-12 berlangsung di Solo. Dalam kongres ini diulangi lagi putusan-putusan kongres yang sudah (penghinaan agama Islam dan peraturan urusan waris) dan seterusnya antara lain juga di ambil putusan : Pekerjaan propaganda di daerah-daerah kolonisasi diserahkan kepada Muhammadiyah (NU yang juga memperhatikan hal ini, tidak menggabungkan diri dalam kongres ke-12 ini). Meminta kepada pemerintah jangan mencabut pasal 177 Indische Staatstregeling Jong Islamieten Bond diwajibkan berhubungan dengan organisasi-organisasi pemuda Islam lainnya, untuk pembentukan satu badan persatuan antara perkumpulan-perkumpulan ini semuanya. Di samping sekretariat MIAI, didirikan satu departemen buat urusan luar negeri. 5 Mei 1939
Organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) di bentuk di Peusangan, Beureun, yang diketuai oleh Tengku Muhammad Daud Beureuh. PUSA berusaha meningkatkan syi’ar Islam, dengan meningkatkan pendidikan agar terlaksana syi’ar Islam dalam masyarakat. Dalam perjuangannya, organisasi ini bergabung dalam MIAI.

21 Mei 1939
Semua partai Nasionalis Indonesia, baik yang sekuler maupun religius, koperasi dan nonkoperasi bersatu-padu dalam sebuah federasi politik, yang di sebut Gabungan Politik Indonesia (GAPI), yang meneruskan kampanye bagi parlemen Indonesia dan memiliki kekuasaan sendiri. Organisasi ini adalah gabungan dari Parindra, Gerindo, Persatuan Minahasa, Partai Islam Indonesia, Partai Katolik Indonesia, Pasundan dan PSII. GAPI menyusun pimpinan harian yang di pegang oleh sekretariat yang terdiri dari tokoh politik Abikusno Cokrosuyoso, Mohammad Husni Thamrin dan Mr. Amir Syarifudin.

24 Desember 1939
GAPI membentuk sebuah badan Kongres Rakyat Indonesia (KRI), yang bertujuan untuk membahagiakan dan mensentausakan penduduk. Kegiatan GAPI selanjutnya dilakukan oleh KRI, yang kemudian mengadakan kongres-kongres. Kongres Rakyat Indonesia yang disponsori GAPI diikuti oleh sebanyak 90 organisasi politik, sosial dan ekonomi. Kongres menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bendera Merah-Putih sebagai bendera Nasional, dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Kongres ini mengadakan kampanye untuk mengubah Volksraad menjadi Parlemen Indonesia dan mengingat situasi Internasional yang kritis, menuntut kerjasama yang lebih besar di antara rakyat Indonesia dan Negeri Belanda melalui pemberian hak-hak demokratis yang lebih luas kepada rakyat Indonesia. Sumber : http://www.islamina.blogspot.com/

Comments

0 responses to "Sejarah Pergerakan Umat Islam"