20.28 | Posted in



Fatwa dilarang merokok yang dikeluarkan oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI) mendapatkan tanggapan sangat beragam di masyarakat. Pro dan kontra merebak, bahkan sejak fatwa tersebut baru diwacanakan.

Fatwa “Dilarang” dengan tingkatan-tingkatan penjabaran merupakan bukti tersendiri dari adanya ketidaksepakatan dalam tubuh MUI sebagai pembuat fatwa. Berikut ini adalah wawancara NU Online dengan K. Arwani Faishal, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail (Kajian Hukum Islam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama seputar status hukum rokok dalam Islam.

Sebenarnya sejak kapankah merokok telah menjadi pembahasan hukum dalam Islam?

Pembahasan tentang merokok belum muncul sejak awal kelahiran Islam. Pembahasan tentang hukum rokok oleh para ulama Islam baru muncul sekitar abad XI Hijriyah atau sekitar empat ratus tahun yang lalu. Pada masa ini, rokok mulai dikenal dan membudaya di berbagai belahan dunia Islam. Sejak saat itulah hukum rokok gencar dibahas oleh para ulama di berbagai negeri, baik secara kolektif maupun pribadi.

Tentu saja dalam pembahasan ini perbedaan pendapat di antara para ulama pasti terjadi. Bahkan hingga saat ini kita menemukan banyak koleksi ilmuah mengenai keragaman pendapat tersebut.

Keragaman seperti apakah yang kyai maksudkan?

Sebagian di antara para ulama menfatwakan mubah alias boleh, sebagian berfatwa makruh, sedangkan sebagian lainnya lebih cenderung menfatwakan haram. Nah perbedaan ini terus dapat kita ju,pai hingga sekarang, baik dalam bentuk teks-teks yang telah terbukukan maupun dalam fatwa-fatwa lisan.

Perbedaan ini terus memunculkan kontroversi sesuai dengan perkembangan wacana di masyarakat. Pada saat korupsi menjadi wacana yang kuat di tengah masyarakat, ternyata ada yang melontarkan gagasan menyamakan rokok dengan korupsi. Padahal hukumnya haram berat karena termasuk tindak sariqah (pencurian). Akan tetapi persoalannya akan lain ketika merokok itu dihukumi haram. Akan muncul pro dari pihak tertentu dan muncul pula kontra serta penolakan dari pihak-pihak yang tidak sepaham.

Apakah patokan umum dari kemunculan tinjauan hukum atas rokok?
Pada dasarnya terdapat nash bersifat umum yang menjadi patokan hukum, yakni larangan melakukan segala sesuatu yang dapat membawa kerusakan, kemudaratan atau kemafsadatan sebagaimana termaktub di dalam QS. Al-Baqarah: 195, dan hadits Nabi SAW. dari Ibnu Majah, No.2331. Bertolak dari dua nash itu, ulama sepakat mengenai segala sesuatu yang membawa mudarat adalah haram.

Akan tetapi yang menjadi persoalan adalah apakah merokok itu membawa mudarat ataukah tidak, dan terdapat pula manfaat ataukah tidak. Dalam hal ini tercetus persepsi yang berbeda dalam meneliti dan mencermati substansi rokok dari aspek kemaslahatan dan kemafsadatan.

Perbedaan persepsi ini merupakan babak baru munculnya beberapa pendapat mengenai hukum merokok dengan berbagai argumennya. Seandainya semua sepakat, bahwa merokok tidak membawa mudarat atau membawa mudarat tetapi relatif kecil, maka semua akan sepakat dengan hukum mubah atau makruh. Demikian pula seandainya semuanya sepakat, bahwa merokok membawa mudarat besar, maka akan sepakat pula dengan hukum haram.

Jika diklasifikasi, ada berapa arus besar pandangan hukum tentang merokok?

Beberapa pendapat serta argumennya mengenai hukum merokok dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam hukum. Pertama, hukum merokok adalah mubah atau boleh karena rokok dipandang tidak membawa mudarat. Secara tegas dapat dinyatakan, bahwa hakikat rokok bukanlah benda yang memabukkan.

Kedua, hukum merokok adalah makruh karena rokok membawa mudarat relatif kecil yang tidak signifikan untuk dijadikan dasar hukum haram. Ketiga, hukum merokok adalah haram karena rokok secara mutlak dipandang membawa banyak mudarat. Berdasarkan informasi mengenai hasil penelitian medis, bahwa rokok dapat menyebabkan berbagai macam penyakit dalam, seperti kanker, paru-paru, jantung dan lainnya setelah sekian lama membiasakannya.


Jika misalnya harus memilih, lalu hukum manakah yang paling tepat untuk rokok?

Merokok itu mubah atau makruh karena tidak terdapat mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Hukum ini berlaku selam tidak berlebihan. Apa saja bila berlebihan dan membawa mudarat yang signifikan, maka hukumnya haram.

Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyatakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi dan berisiko tinggi pula. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat. Kalaulah merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah.

Adapun bentuk kemaslahatan dapat ditengarai berupa membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat karena kemudaratannya tentu jauh lebih besar dari manfaat tersebut.

Bisakah disebutkan alasan-alasan khusus yang mendasari pelarangan merokok oleh para ulama dan mengapa alasan itu ditentang oleh ulam lainnya?

Ketika hukum merokok menjadi objek bahasan para ulama' muncullah kontroversi. Bagi yang mengharamkannya. tidak kekurangan alasan untuk menjelaskan berbagai argumennya. Demikian sebaliknya, namun kalau menurut saya pribadi, mengharamkan rokok bukanlah sikap yang tepat. Di sini sekurang-kurangnya terdapat tujuh alasan berikut argumentasinya.

Pertama, kurang objektif bila mengharamkan merokok itu dengan alasan rokok membawa banyak mudarat yang berisiko tinggi. Berdasarkan pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis, merokok dapat mengakibatkan antara lain; kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan serta janin. Dengan kecanggihan teknologi sekecil apa pun kemudaratan pada rokok khususnya dapat ditemukan. Bagaimana pun semua itu masih dalam posisi praduga yang perlu dibuktikan secara nyata. Ada kemungkinan karena kecanggihan teknologi yang dapat menemukan sekecil apa pun kemudaratan itu justeru kemudian terkesan menjadi jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Apabila karekter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.

Jika rokok dianggap sebagai khobais karena unsur candu, menurut Kyai seperti apa?

Nah itulah aspek keduanya, sependek pandangan saya, adalah tanpa tendensi ketika dinyatakan, bahwa rokok tidaklah memabukkan. Dan jika tetap muncul dalih bahwa tidak memabukkan itu karena unsur kecanduan atau ketagihan, maka sangatlah sulit untuk dapat dibenarkan. Faktanya, tidak seorang pun yang tidak terbiasa merokok akan mabuk bila ia merokok untuk pertama kali.
Ketiga, suatu hal yang perlu saya nyatakan, bahwa tidak akurat manakala menetapkan hukum haram merokok dengan alasan kemudaratan rokok yang relatif kecil itu dihukumi haram dengan alasan rokok dalam ukuran banyak atau berlebihan adalah haram hukumnya. Ada kesalahpahaman dalam memahami hadits Nabi SAW. mengenai setiap benda dalam jumlah besar yang dapat memabukkan itu bila dalam jumlah sedikit pun tetap haram. Hadits tersebut pengertiannya terfokus pada benda yang secara tegas memabukkan atau berhukum haram karena meskipun hanya dalam ukuran sedikit tetap membawa mudarat yang lebih besar dari manfaatnya. Adapun benda-benda yang hakikatnya tidak memabukkan, tentu dalam ukuran sedikit tidak bisa dinyatakan haram meskipun dalam ukuran banyak benda itu diharamkan. Hal ini dapat dipahami, bahwa benda yang substansinya tidak haram itu dalam ukuran sedikit justeru tidak haram karena tidak terdapat mudarat.

Keempat, tidak berlebihan manakala saya nyatakan, bahwa tidak proporsional menetapkan hukum haram merokok karena terdapat unsur tabdzir (menyia-nyiakan harta). Persoalannya, selama merokok itu diyakini dengan hukum mubah atau makruh tetapi terdapat manfaat, maka tidak dapat dikategorikan tabdzir. Dalam contoh lain, satu orang mengendarai satu mobil, padahal sebenarnya hal itu bisa dilakuka dengan naik kendaraan umum yang tentunya tidak berlaku boros dan tidak pula membuat jalanan macet. Meskipun demikian, mengenadari satu mobil untuk satu orang itu tidak dikategorikan tabdzir karena terdapat manfaat.

Jika Rokok diharamkan karena secara substansial dianggap merugikan?
Saya nyatakan, bahwa tidaklah substansial mengharamkan merokok karena dapat mengganggu dan membawa mudarat bagi orang di sekitarnya. Masalah mengganggu dan menyebarkan mudarat bagi orang lain merupakan tindakan lain yang haram dilakukan, dan hal itu tidak menyangkut hakikat hukum rokok karena merokok dapat dilakukan dalam kesendirian yang sekiranya tidak mengganggu dan berdampak mudarat bagi orang lain, ini adalah unsur penolakan yang kelima.

Alasan keenam adalah menyamakan rokok dengan tindakan bunuh diri. Menurut saya sangat tidak rasional manakala menetapkan hukum haram merokok karena dianggap sama dengan bunuh diri secara perlahan. Sunggguh mengejutkan bila hal ini dijadikan alasan untuk mendasari hukum haram merokok. Tidak seorang pun memungkiri, bahwa bunuh diri itu haram dan dosa besar. Akan tetapi tidak rasional merokok disamakan dengan bunuh diri karena secara jelas merokok itu bukan dimaksudkan untuk bunuh diri. Tidak ada seorang pun senang untuk mati kecuali benar-benar telah frustasi.

Apakah alasan menuruti hawa nafsu dengan merokok juga tidak dapat dibenarkan?

Saya rasakan agak lucu menetapkan hukum haram merokok karena dinilai tidak ada tujuan yang sah atau semata-mata untuk kepentingan taladz-dzud (sekedar bernikmat-nikmat). Pada alasan ketujuh ini, terasa sangat janggal karena mencari kenikmatan itu mubah dan tidak diharamkan selama tidak mengarah kepada hal yang haram. Tidakkah setiap orang yang sudah kenyang kemudian dia makan makanan kecil atau meminum yang lezat itu berarti bermaksud mencari kenikmatan. (min)

Category:
��

Comments

0 responses to "Beragam Pro dan Kontra tentang Fatwa Merokok"